Opini

Radikalisme dan Terorisme : Tangkal dengan Falsafah 'Dalihan Na Tolu'

Administrator
James P Pardede
Kekerabatan masyarakat suku Batak tercermin dari pengaplikasian falsafah Dalihan Na Tolu dalam banyak hal
Seorang teman pernah berkata begini pada saya, kenapa masyarakat Batak memiliki kekerabatan yang sangat kuat dimana pun mereka berada? Karena, masyarakat Batak masih menjunjung tinggi falsafah hidup 'Dalihan Na Tolu' atau 'Tiga Tungku'. Masyarakat suku Batak, meskipun mereka berada jauh (merantau) dari daerah asalnya, tapi mereka tetap menjunjung tinggi falsafah hidup ini. Tak pandang agama atau latar belakang, masyarakat suku Batak kalau bertemu diperantauan yang pertama kali ditanya adalah marganya, marga ibunya dan kemudian akan runtut sampai ke ompung (kakek-nenek).

Hal ini dilakukan agar tidak salah dalam melangkah. Misalnya, seorang anak muda bertemu dengan gadis cantik yang disukainya. Ketika bertanya marga dan silsilah keluarganya, ternyata gadis cantik yang (pada awalnya ia inginkan) itu adalah ito-nya (saudaranya semarga). Itu sebabnya, masyarakat Batak dimana pun kalau berkenalan selalu menyebutkan nama dan marganya agar tidak salah langkah.

Berbicara tentang falsafah ini, sudah banyak buku yang mengulas falsafah Dalihan Na Tolu sebagai dasar kehidupan bagi masyarakat Batak. Menurut Marbun (1987: 37) Dalihan Na Tolu adalah dasar kehidupan bagi masyarakat Batak, terdiri dari tiga unsur atau kerangka yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan yakni Dongan Sabutuha, Hula-hula, dan Boru. Ketiganya bergerak serta saling berhubungan selaras, seimbang dan teguh oleh adanya marga dan prinsip marga.



Dalihan Na Tolu berfungsi menentukan tentang kedudukan, hak dan kewajiban seseorang atau kelompok orang atau mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam kehidupan adat bermasyarakat. Selain itu juga berfungsi sebagai dasar dalam bermusyawarah dan mufakat masyarakat Batak (Marbun dan Hutapea, 1987: 37).

Itu sebabnya, karena masih terawatnya kearifan lokal yang menjunjung tinggi Dalihan Na Tolu ini, masyarakat Batak sangat kuat dalam tatanan adat istiadat. Kalau tidak mengerti adat istiadat, maka ia akan dicap sebagai warga atau suku Batak yang tak jelas asal usulnya. Setiap orang tua di masyarakat suku Batak akan mengajari anaknya tentang silsilah marga dan keturunannya. Hal ini sangat penting agar suatu waktu nanti bisa menentukan posisinya sebagai Dongan Sabutuha, Hula-hula atau Boru.

Jangan heran kalau ada orang atau oknum yang mencoba memecah belah suku Batak, maka oknum tersebut akan mengalami kesulitan. Kenapa? Misalnya, oknum tadi mencoba menyuruh atau memengaruhi seseorang masyarakat suku Batak untuk mengganggu ibadah di salah satu rumah ibadah di satu kota. Tidak lantas masyarakat suku Batak tadi tersulut, ia akan berpikir seribu kali untuk menuruti perintah orang yang tak dikenalnya. Karena, di rumah ibadah yang dimaksud tadi ada saudaranya, ada namborunya (tante). Walau pun mereka berbeda agama, tapi yang namanya kekerabatan dan falsafah suku Batak Dalihan Na Tolu tidak mengenal latar belakang agama.

Kekuatan kearifan lokal falsafah Dalihan Na Tolu ini harus dipertahankan dan diwariskan ke anak cucu masyarakat suku Batak. Selain menjalankan dan mematuhi dasar negara kita Pancasila dan UUD 1945, falsafah Dalihan Na Tolu juga memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat yang menghargai perbedaan, saling menghormati dan memiliki sikap suka menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan.



Perlu diketahui bahwa falsafah Dalihan Na Tolu yang terdiri dari Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek Marboru memiliki pengertian yang saling menguatkan. Somba Marhula-hula, dalam hal ini hula-hula adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu. Panggilan atau sapaan adalah tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Hula-hula harus dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada pihak laki-laki. Penghormatan harus kepada semua pihak keluarga dekat, pihak perempuan terutama tulang maupun satu marga dari pihak istri bahkan sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.

Tiga Status

Dalam sebuah pesta adat suku Batak, seperti disampaikan Sinar Ritonga yang beberapa tahun lalu menggelar acara mangongkal holi (menggali tulang belulang leluhur) dan menyatukan kuburan semua keluarga di dalam satu lokasi yang seterusnya menjadi tugu bagi keluarga besar mereka, posisi hula-hula menjadi sangat penting dalam acara tersebut.

Sementara untuk ungkapan Manat Mardongan Tubu, dongan tubu adalah masyarakat yang satu rumpun marga dimana rumpun marga mencapai ratusan marga induk. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Adat batak selalu dimulai dari suhut yaitu pihak pelaksanaan adat bagi tuan rumah. Contoh, jika marga Situmorang mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana adat adalah seluruh marga Situmorang di kawasan itu. Dalam kesepakatan biasanya mereka akan menunjuk seorang wakil yang bertugas sebagai parhata (pembicara) dalam adat.



Kemudian untuk ungkapan Elek Marboru, dalam masyarakat suku Batak, boru adalah saudara perempuan kita dengan panggilan ito, keluarga dari  marga saudara ito maupun keluarga perempuan dari marga kita. Boru dalam adat Batak tidak memandang status dan jabatan. Apabila dalam upacara adat, seorang suami dari ito kita memiliki jabatan penting di pemerintahan, akan tetapi di dalam sebuah acara adat dia harus mau turun ke dapur dan bekerja sesuai dengan posisinya sebagai boru.

Dalihan Na Tolu dalam masyarakat suku Batak menjadikan posisi kita (terutama laki-laki) dalam adat suku Batak mempunyai 3 status yang berbeda-beda sesuai dengan siapa yang menyelenggarakan acara. Ada kalanya posisi kita sebagai hula-hula, boru atau dongan tubu.

Falsafah masyarakat suku Batak Dalihan Na Tolu ini menjadi salah satu kearifan lokal yang sangat penting dalam membangun kebersamaan dalam keberagaman. Dalihan Na Tolu atau tiga tungku, jika salah satu diantara tiga tungku ini rusak atau timpang, maka tungku tidak bisa digunakan. Kekerabatan dalam suku Batak juga seperti itu, antara hula-hula, boru dan dongan tubu tidak boleh ada perselisihan yang berujung ke permusuhan. Jika hal ini terjadi, maka keluarga tersebut akan mudah disusupi oleh orang ketiga yang senang melihat keluarga ini terpecah belah.



Jika masyarakat sudah terpecah belah, ini akan menjadi kesempatan bagi paham lain masuk, seperti disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius dalam sebuah kesempatan, selain narkoba, terorisme juga merupakan ancaman yang serius bagi sebuah negara, karena menyangkut keamanan dan stabilitas dalam negeri. Untuk mencegah terorisme pun tidak bisa dilakukan hanya dengan satu strategi, tetapi harus multistrategi. Kearifan lokal diharapkan menjadi salah satu upaya positif dalam menangkal masuknya paham radikal dan terorisme.

"Tidak ada strategi tunggal karena kelompok teror selalu bergerak dinamis mengadaptasi perubahan lingkungan strategis, baik lokal, nasional, maupun global," kata Suhardi seperti dilansir dari laman BNPT.

Salah satu strategi yang dipakai BNPT dalam menghadapi terorisme, lanjut Suhardi adalah melibatkan seluruh komponen bangsa, terutama tokoh dan kekuatan lokal di daerah-daerah melalui FKPT. FKPT merupakan bagian dari strategi kontraradikalisasi dalam membentengi masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme.

"Terorisme bisa terjadi di mana pun dan kapan pun secara tak terduga. Para pelaku juga merupakan bagian dari masyarakat yang setiap saat ada dan bisa jadi mendiami lingkungan sekitar kita," tandasnya.



Menyikapi hal ini, menurut tokoh masyarakat yang juga Anggota DPD RI Asal Sumut Parlindungan Purba, masyarakat jangan mudah terpecah belah oleh hasutan orang lain baik lewat kata-kata atau ujaran lain di media sosial. Falsafah masyarakat suku Batak Dalihan Na Tolu harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus agar sikap saling menghargai dan pentingnya kebersamaan dalam keberagaman tetap terjaga dengan baik.

"Falsafah ini menjadi acuan masyarkat suku Batak dimana pun berada agar menjunjung tinggi Dalihan Na Tolu sebagai dasar kehidupan untuk saling menghargai. Jangan karena kepentingan politik atau kepentingan lain hubungan kekerabatan kita dengan Hula-hula, Boru dan Dongan Tubu jadi berantakan. Karena, kalau kita mudah dipecah belah maka disaat itulah paham lain masuk dan menghancurkan semua kekerabatan kita," tegasnya.



 

 
Penulis
: James P Pardede
Editor
: Amrizal
Tag:Dalihan Na ToluRadikalismeterorisme

Situs ini menggunakan cookies. Untuk meningkatkan pengalaman Anda saat mengunjungi situs ini mohon Anda setujui penggunaan cookies pada situs ini.